Berita-berita terkait dengan 100 hari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

liputan-100-hari-lpsk

———————————————————————————–

Berita-berita terkait dengan seleksi Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

seleksi-anggota-lpsk

———————————————————————————–

Asuransi Dapat Dipakai Mengatasi Problem Dana Kompensasi

Berdasarkan beleid yang dikeluarkan Pemerintah, pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan diberikan atas kerugian yang nyata-nyata diderita korban.

Belum resmi dilantik Presiden, belum punya kantor dan anggaran, para anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sudah berupaya memikirkan kemungkinan seretnya dana dari Pemerintah. Selain dana operasional lembaga sehari-hari, LPSK hampir pasti mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan dana.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 2008 menegaskan setiap permohonan kompensasi, restitusi dan bantuan diajukan melalui LPSK. Beleid ini diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan calon anggota LPSK digelar DPR. Berdasarkan PP ini, LPSK bertugas mengurusi administrasi permohonan kompensasi, restitusi dan bantuan. Karena itu, masalah dana menjadi salah satu perhatian para anggota LPSK terpilih.

Beruntunglah, para anggota LPSK tampaknya menyadari sejak awal persoalan anggaran ini. Yang jelas, anggaran negara sangat terbatas. Menurut Myra Diarsi, salah seorang anggota terpilih, belum adanya dana operasional tak mesti menghalangi LPSK bersosialisasi. ““Sebenarnya, LPSK sudah dapat bekerja walau anggaran belum ada. Setidaknya melakukan sosialisasi-sosialisasi seperti ini,” ujar mantan anggota Komnas Perempuan itu.

Pasal 27 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memang menyebutkan bahwa biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada APBN. Yang jadi masalah, APBN belum tentu mengalokasikan dana yang memadai. Keterbatasan anggaran negara bukan saja untuk mendukung program operasional lembaga-lembaga baru semacam LPSK. Para anggota LPSK juga menyadari kemungkinan problem dana negara untuk pembayaran kompensasi, restitusi dan bantuan. “Tidak mungkin kami mengandalkan dari APBN,” kata Abdul Haris Semendai, anggota LPSK terpilih lainnya.

Menurut Semendawai, salah satu cara mengatasi problem dana tersebut adalah bekerjasama dengan pihak ketiga. Di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ada divisi khusus yang menangani masalah-masalah perlindungan saksi dan korban. Pada program tertentu, PBB menyediakan dana dalam rangka membantu merehabilitasi korban. “Ini yang mesti kita maksimalkan,” tandasnya.

Teguh Sudarsono, anggota LPSK terpilih berlatar belakang polisi, malah mengajukan usul kerjasama dengan perusahaan asuransi. Intinya, saksi atau korban yang berada dalam program perlindungan di-cover dengan asuransi. Asuransi adalah bisnis resiko. Jadi, perusahaan asuransi yang jadi pihak ketiga dapat diberdayakan. Misalnya, si pelaku dalam memberi kompensasi pada korban bisa meminta bantuan asuransi untuk membayarnya, berhubung si pelaku juga member/nasabah dari asuransi tersebut. Karena ini bagian dari resiko si pelaku. Teguh malah gemas melihat sebagian masyarakat Indonesia yang belum melangkah ke insurance culture. “Kita bisa menggalang risk fund, karena ada apa-apa kita bisa mengandalkan itu,” ujarnya. Nah, LSPK bisa menggkoordinir kemungkinan perlindungan asuransi tersebut.

I Ketut Sudiharsa mengajukan usul memanfaatkan RUU Perampasan Aset. LPSK bisa memberikan masukan terhadap RUU yang tengah digodok itu. Dana pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan bisa disisihkan dari aset-aset hasil kejahatan yang dirampas untuk negara. Agar aset tersebut banyak, RUU Perampasan Aset perlu memuat rumusan perlindungan kepada pelaku kejahatan yang bersedia mengungkapkan kejahatan yang lebih besar dan menguntungkan. Kalaupun yang bersangkutan menjadi pelaku dalam kejahatan itu, ia bisa dilindungi asalkan bersedia mengungkap yang lebih besar.

Ktut memberi tamsil. Dalam sebuah kejahatan ekonomi, si A berkomplot dengan B dan C. Si A bisa sekedar menjadi saksi asalkan mau mengungkapkan peran B dan C yang memang lebih besar. “Ngapain menangkap A kalau cuma dapat satu miliar. Mending jadikan si A ini saksi, lalu jaring si B dan C yang tentunya bisa dapat sampai triliunan, begitu ibaratnya”.

Nah, menurut Ktut, semua uang rampasan itu masuk ke dalam kas negara. Sederhananya, negara akan memiliki dana yang cukup untuk membayar kompensasi, restitusi dan bantuan.

Ktut memperkirakan korban akan meminta dana kompensasi, restitusi atau bantuan yang setinggi-setingginya. Di sinilah peran LPSK untuk memverfikasi kelayakan permohonan tersebut. Pemerintah tampaknya juga menyadari kemungkinan tersebut. Karena itu pula, PP No. 44 Tahun 2008 membuat batasan yang tegas. Dalam setiap permohonan kompensasi, restitusi dan bantuan, pemohon harus menguraikan “kerugian yang nyata-nyata diderita”. Apa yang dimaksud kerugian yang nyata-nyata diderita itu? Beleid tadi memberi contoh: kehilangan pekerjaan atau musnahnya harta benda milik korban.

(Nov/Mys) Hukumonline [12/7/08]

———————————————————————————–

RPP Kompensasi Belum Berpihak pada Korban

Prosedur mendapatkan kompensasi dianggap berbelit-belit dan sulit dipenuhi korban dalam waktu singkat.

Korban pelanggaran hak asasi manusia bisa berharap mendapatkan pemulihan secara hukum jika Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Saksi Korban (RPP Kompensasi) disahkan. RPP ini merupakan amanat dari Undang-Undang No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Namun, sebelum disahkan, RPP Kompensasi sudah dikritik sejumlah kalangan. Kritik demi kritik muncul bersamaan dengan konsinyering yang diselenggarakan Pemerintah dan para pemangku kepentingan. Salah satu yang mengkritisinya adalah Koalisi Perlindungan Saksi (KPS), sebuah koalisi lembaga swadaya masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Menurut KPS, RPP Kompensasi masih mengandung cacat, yang berakibat pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM.

Aturan yang dinilai mengandung cacat antara lain definisi kompensasi, syarat-syarat, prosedur, dan perhitungan kompensasi. Cacat tersebut dianggap menganggu karena kompensasi merupakan salah satu upaya pemulihan korban dan sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap korban pelanggaran HAM. Apalagi sudah jelas, pemulihan kerugian korban sudah menjadi prinsip baku dalam hukum HAM internasional.

Misalkan soal definisi. Pasal 1 angka 4 RPP merumuskan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Rumusan ini seolah menyiratkan bahwa negara sebagai pihak ‘pengganti’ pelaku karena pelaku sebenarnya tidak sanggup memberi ganti kerugian.

Definisi itu juga memberikan pandangan bahwa kompensasi baru dapat diberikan jika ada pelaku yang terbukti bersalah. Itu syarat utamanya. Padahal, jika kembali pada prinsip hukum HAM internasional, pemulihan korban itu dimana kompensasi salah satu wujudnya tidak harus menunggu pelakunya dipidana atau tidak. Kalau tak ada pelaku yang dinyatakan bersalah mustahil korban mendapatkan kompensasi dari negara. Tengok saja pengalaman korban pelanggaran HAM berat dalam kasus Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura.

Selain definisi yang relatif tak berpihak pada korban, KPS juga menilai korban dipersulit lagi dengan prosedur dan syarat-syarat. Simak saja kalimat “Permohonan kompensasi memuat sekurang-kurangnya, salah satunya, identitas pelaku pelanggaran HAM berat”, yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) huruf (c) RPP. KPS menilai rumusan itu memberatkan korban. Logikanya dalam suatu peristiwa pelanggaran HAM berat, pelaku cenderung terorganisir dan piawai mengaburkan identitas, sehingga sulit dikenali secara jelas.

Syarat lain yang harus dipenuhi adalah korban harus melampirkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Rumusan lain, pasal 4 ayat (2) huruf (f) tadi juga dianggap sangat ‘fatal’ karena terkesan menunda-nunda pemulihan korban. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui korban, mulai dari penyelidikan oleh Komnas HAM dan Polisi, lalu penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan. Belum lagi jika berkas penyelidikan harus bolak-balik penyelidik-penyidik, seperti yang terjadi baru-baru ini (pengembalian berkas dari Kejagung ke Komnas HAM-red).

Apabila perjalanan berkas mulus-mulus saja, tidak mengalami Kendala di kejaksaan, maka proses selanjutnya adalah pengadilan. Mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding, lalu kasasi, bahkan kalau masih tidak ‘puas’ akan ada peninjauan kembali (PK).

Proses yang memakan waktu lama ini tentunya sangat bertentangan dengan prinsip pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak. Prinsip ini termaktub dalam penjelasan umum PP No.3 Tahun 2002 yang sudah lebih dulu mengatur pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.

Dari sekian prosedur yang menyulitkan korban ini, tersisa satu prosedur yang menimbulkan kesan Pemerintah enggan memberikan kompensasi. Berdasarkan rumusan pasal 6 RPP,  walaupun permohonan kompensasi sudah dianggap lengkap oleh LPSK, LPSK dapat segera melakukan pemeriksaan substantif. Pemeriksaan substantif ini dimaksudkan mencari kebenaran peristiwa pelanggaran HAM berat dan kerugian seperti apa saja yang nyata-nyata diderita korban.

Begitulah nasib korban pelanggaran HAM berat, setidaknya dalam pandangan KPS. Sudah menjadi korban, harus pula ‘disibukkan’ prosedur yang berbelit dan lama. Padahal menurut Kepala Divisi Monitoring Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, mekanisme yang harus dilalui korban untuk menuntut kompensasi melalui LPSK lebih sulit dibanding mekanisme perdata. “Jadi, ngapain juga korban susah-susah nuntut via LPSK (sesuai UU PSK, RPP) kalau melalui hukum perdata lebih menguntungkan korban,” ujarnya.

Kalau memang begitu yang terjadi, Arsil khawatir RPP tidak akan efektif di lapangan. Koordinator Divisi Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, berpendapat serupa. “RPP ini pertanda masa depan yang buruk buat korban. Sama saja pengulangan kondisi PP No. 3 Tahun 2002,” ujarnya.

Direktur Perancangan Perundang-Undangan Dephukham, Suhariyono, tak menapiskan kritik dan masukan KPS. Menurut dia, sebagai sebuah draft, RPP Kompensasi masih terbuka untuk disempurnakan. Apalagi kompensasi itu kelak berkaitan dengan keuangan negara. “Khususnya, perlu dikonsultasikan ke Menkeu terkait besaran ganti kerugian dan administrasi kepegawaian,” katanya. (CRR/Rzk)

Hukumonline [8/5/08]

———————————————————————————–

RPP Perlindungan Saksi Dinilai Bermasalah

JAKARTA—MI: Koalisi Perlindungan Saksi menilai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada saksi dan korban bermasalah. Pemerintah dinilai tidak memiliki itikad baik untuk melindungi dan memenuhi hak pemulihan korban melainkan justru berpotensi menghambat pemenuhan hak tersebut.

“RPP ini hanya judulnya saja yang menunjukkan itikad baik, tapi isinya adalah rantai birokrasi yang panjang yang ujung-ujungnya menghambat pemberian kompensasi kepada korban,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Masyarakat (ELSAM) Agung Putri yang juga merupakan anggota Koalisi Perlindungan Saksi.

Agung Putri mencontohkan mengenai definisi kompensasi. Dalam draf RPP, kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Dari definisi tersebut, tambah Agung Putri, tersirat seolah-olah ganti kerugian diambil alih oleh negara dari kewajiban pelaku. Sehingga, menurutnya, adanya kompensasi harus terlebih dahulu ada pelaku yang dinyatakan bersalah dan dipidana serta diperintahkan membayar ganti kerugian kepada korban, namun, karena pelaku tidak mampu membayarnya entah karena korban yang terlalu banyak atau jumlahnya terlalu besar maka negara mengambil alih tanggung jawab pelaku.

Padahal, sambungnya, hal tersebut berbeda jauh dengan prinsip-prinsip dalam hukum HAM yang menyatakan bahwa kompensasi adalah kewajiban negara terhadap korban pelanggaran HAM, bukan karena pelaku pelanggaran HAM tersebut tidak mampu. “Bagaimana mungkin ketentuan yang secara konseptual saja sudah salah dapat diterapkan secara efektif. Pada kenyataannya, dari tiga pengadilan HAM yaitu kasus Timor-Timur, Abepura, dan Tanjung Priok tidak ada satupun korban yang mendapatkan kompensasi karena sampai saat ini belum ada pelaku yang dinyatakan bersalah, ini kan masalah,” paparnya.

Selain itu, tambahnya, aroma pemanjangan birokrasi juga tercium dengan adanya persyaratan pemeriksaan substantif oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mencari kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM berat dan kerugian apa saja yang diderita korban. “LPSK seharusnya hanya menjadi mediator antara korban dan pengadilan. Seharusnya yang melakukan pemeriksaan adalah pengadilan saja, bukan LPSK. Ini hanya semakin memperlama proses pemberian kompensasi,” cetusnya. Sedangkan menurut Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, pembuatan RPP ini sekadar akal-akalan pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab dalam menjalankan mandat UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. (OL-2)

Media Indonesia, Senin 26 Mei 2008 16:34 WIB

———————————————————————————–

0 Responses to “Berita”



  1. Leave a Comment

Leave a comment




May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Pengunjung

  • 32,813 hits

Perkenalan Awal

Situs ini di buat oleh para peggiat advokasi terhadap perlindungan saksi di Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban, yang saat ini juga sedang mempropagandakan pentingnya perlindungan para pengungkap fakta (whistleblower). Tujuan dibuatnya situs ini adalah dalam rangka melakukan desiminasi informasi yang terkait dengan isu perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Di samping untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang selama ini sulit di peroleh oleh publik dan kemudian mengkonsolidasikannya dalam sebuah media yang diharapkan dapat diakses secara mudah oleh masyarakat.